Makna tafakur dalam Islam: Cara dan Keutamaan, mari Terapkan

    Tafakur berarti kontemplasi dalam Islam. Saran untuk meditasi sering ditemukan dalam  Quran. Namun, apa sebenarnya arti meditasi itu? Merenung berarti berpikir, merenungkan, mengingat Allah melalui semua ciptaan-Nya yang tersebar di langit dan bumi. Bahkan apa yang ada dalam diri orang itu sendiri, seperti  dikutip dalam buku Mental Management karya Sanerya Hendrawan.

    Quraish Shihab dalam kitab Tadabbur Quran Tafakur Alam mengatakan bahwa tafakur terbentuk dari kata fikr yang berasal dari kata fakr berupa faraka yang berarti menggaruk sehingga keluar apa yang dicukur, memukul sampai putus, menyikat (pakaian) sampai kotorannya hilang. 

    Setelah membahas nilai berbuat baik versus menyembah mahdhah naafilah, mari kita bahas kemuliaan meditasi. Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Sejenak merenung lebih baik dari ibadah satu tahun, lalu beliau mengulangi: sesaat merenung lebih baik dari ibadah 70 tahun, dan:  sesaat merenung lebih baik dari seribu tahun beribadah. ibadah ibadah". 

     Bahkan ada yang mengatakan - tentu saja secara naratif - bahwa hadits itu lemah. Namun, keagungan meditasi diperkuat oleh ayat-ayat Alquran, yaitu sebagai berikut: 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang bertafakkur” (QS. Ali Imran [3]: 190).  

Yang dimaksud ibadah di sini adalah ibadah mahdhah (ritual). Adalah baik untuk menganggap bahwa ibadah  adalah hukum sunnah. Bagi saya itu sudah cukup. Sehingga kita tidak perlu membahas hal-hal yang berkaitan langsung dengan pokok bahasan kontemplatif ini. Lebih baik lagi, mari kita coba untuk lebih memahami arti dari istilah kontemplatif ini. Dari bentuk sharaf (merusak/mengubah bentuk kata), kata ini berarti “memikirkan sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam”. Bukan hanya akal sehat. Nah, dalam hal ini, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan kutipan di atas sebagai berikut: 

 


 "Merenungkan suatu masalah dalam hidup dan mencari alasannya sampai dia mengerti - tentang `ibrah dan hikmah - adalah meditasi yang layak disembah selama setahun. Mengagumi ibadah sampai mengetahui hakikat ibadah adalah kontemplasi yang layak disembah selama 70 tahun Mengagumi Allah SWT mengenal-Nya untuk meningkatkan kualitas ibadah dan dekat dengan Allah SWT merupakan renungan yang bernilai ibadah ribuan tahun”.  

     Apa arti dari kemuliaan meditatif ini? Secara khusus agama bukanlah tentang ritual yang dilakukan tanpa memahami hikmah dan realitas, apalagi tanpa pengakuan Allah SWT sebagai akar segala sesuatu. Semoga makna meditasi ini – khususnya meditasi ketiga dalam tafsir Syekh Abdul Qadir al-Jailani – juga sangat dekat dengan makna dzikir. tentang ayat-ayat/tanda-tanda Tuhan, baik  qawliyah (teks) maupun kawniyah (tersebar luas di alam semesta). Sebab, mungkin kegiatan ini lebih bersifat sentimental ketimbang ritual ibadah seribu tahun sekali. Sedemikian rupa sehingga Ibn `Athaillah as-Sakandari berkata: “Perenungan adalah pelita bagi hati. Tanpa kontemplasi, hati tidak  akan bersinar.” Yang membedakan dzikir dan meditasi, karena Abu Ali Daqqaq menganggap dzikir lebih utama daripada meditasi. Mungkin karena dianggap  mengingat Allah secara langsung dianggap lebih utama daripada mempelajari-Nya dari tanda-tanda-Nya, sesuai dengan kelanjutan ayat di atas: 

“…(yaitu) orang-orang yang mengingat (berzikir akan) Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan (bertafakur akan) tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka” (QS. Ali Imran [3]: 191). 




 Sementara Habib Abdullah al-Haddad membahas meditasi satu nafas dengan zikrul-Laah. Dalam Risalah Mu`awanah, ia bahkan mengutip ucapan Imam Ali yang mengatakan bahwa “tidak ada ibadah yang lebih utama daripada berzikir”. Habib Abdullah menekankan  pentingnya kehadiran (hudhur) hati dalam bernyanyi. Tentu saja ada ingatan lisan – ini berbeda dengan ingatan hati yang pasti akan membangkitkan hati – tetapi ingatan lisan yang tidak disertai dengan hudhur juga akan  mengurangi nilainya begitu banyak. Sampai pada kesempatan lain, mengenai ingatan lisan ini, Habib Abdullah al-Haddad mengatakan: “...terlalu banyak membaca wirid (baca: ingatan lisan), kurang perhatian, kurang buah hati dan kurang kesadaran akan Allah, yang Yang Maha Tinggi. Hebat, sedikit manfaatnya…” 

 

 Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya mendukung pandangan Syekh Abdul Qadir al-Jailani, yang saya kutip di awal. Secara khusus, renungan untuk menimba ilmu kepada Allah SWT sejajar dengan makna dzikir. 

 Catatan terakhir: keliru jika berpikir bahwa kontemplasi kurang mulia karena hanya melibatkan kontemplasi. Padahal, berpikir dalam ajaran Islam tidak pernah lepas dari hapalan dengan hati. Wal Laahu a`lam

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url